Manusia tani adalah subyek utama dari pertanian yang menggerakkan pertanian itu sendiri. Mereka berkembang sesuai dengan tingkat keilmuan yang dimiliki. Pada zaman sekarang Iilmu pertanian memang diajarkan di universitas, ironinya sebagian besar petani kita di Indonesia adalah orang yang tidak mendapatkan pendidikan formal hingga bangku kuliah. Akan tetapi mereka memiliki akses untuk belajar sendiri. Mengapa?
Bidang pertanian adalah hak semua manusia. Berbicara pertanian akan lebih menyatukan pada saat kita membicarakan persoalan ideologi, sosial, politik, ekonomi, teknologi, maupun bidang lain kehidupan manusia. Pertanian bisa menjadi satu “bahasa kehidupan” yang mengkomunikasikan antar manusia di seluruh penjuru dunia. Sekali lagi manusia hidup pasti bertalian erat dengan dunia pertanian. Oleh karena itu ilmu pertanian jangan dilihat dalam ruang yang kecil dan serba terbatas atau hanya dalam sekat-sekat dinding kampus semata.
Ilmu pertanian harus dibawa ke dalam semua bidang kehidupan manusia. Ia harus melebur dalam praktek sebagai penuntun ke arah kemajuan bidang kehidupan umumnya dan pertanian itu sendiri khususnya. oleh karena itu ilmu pertanian saja tidaklah cukup, ia harus seimbang antara ilmu dengan praktek agar tidak terjadi kepincangan.
Ilmu pertanian ini akan berkembang menjadi sangat luas ketika disandingkan dengan filsafat yang mampu mengadvokasi manusia tani. Melalui keberpihakan dengan mencerahkan manusia tani, maka bidang-bidang pertanian akan lebih cepat maju dan berkembang. Di satu sisi petani tidak boleh menjadi obyek semata dari pengembangan ilmu pertanian, tak terkecuali juga dalam bidang agribisnis. Petani harus menjadi subyek yang harus berkembang linear dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal pertanian. Dengan kata lain ilmu pertanian yang dalam hal ini adalah agribisnis juga harus turut serta mengangkat derajat kesejahteraan subyek tani yakni petani.
Inilah perlunya advokasi berupa penyadaran bagi para intelektual kampus agar senantiasa memperhatikan keseimbangan antara teori dan praktek yang dikembangkan. Hal ini juga berarti berusaha menyeimbangkan antara kemajuan ilmu dengan tingkat kesejahteraan para petani yang menjadi subyek penyedia bahan/produk tani.
Ilmu dan Pertanian adalah Soko Guru Bangsa
Sering kita mendengar bahwa pertanian adalah soko guru bangsa. Di beberapa Negara maju dengan didukung kecanggihan teknologinya, tetap mempertahankan serta mengembangkan keunggulan, kemandirian dan kedaulatan pangannya (tani). Oleh karena mereka mampu mengolah bahan mentah menjadi barang manufaktur tani/industri pertanian. Dengan kata lain ilmu pengetahuan harus disandingkan dengan pertanian. Tidak bisa pertanian jalan sendiri tanpa dukungan intelektual yang mengerti dan advokatif terhadap dunia pertanian.
Di sini terlihat bahwa diperlukan banyak perhatian dari pemerintah dalam mendukung dunia pertanian khususnya industri manufaktur tani yang mengolah bahan paska panen dari hasil tani. Tidak semata jual langsung maupun tidak langsung bahan-bahan mentah pertanian itu sendiri. Inilah tantangan bagi bidang agribisnis yang tidak boleh semata menjual bahan mentah, namun harus dapat mengangkat daya nilai tukar tani menggunakan ilmu pengetahuan untuk majunya industri pengolahan tersebut.
Agribisnis harus punya advokasi juga dengan pengertian ada etika bisnis maupun unsur keadilan dalam interaksi ataupun perdagangan dari hulu hingga ke hilir. Tanpa adanya hubungan antara petani sebagai penghasil bahan-bahan tani dengan aktivitas perdagangan maka akan terjadi ketimbangan penghasilan bagi petani itu sendiri. Di sinilah secara sosiologis petani mengalami penyusutan (involutif) yang berakibat pada penurunan produksi, alih fungsi lahan yang terus meningkat yang tentunya akan menjadi bumerang bagi pelaku agribisnis yang kesulitan mendapatkan bahan mentah untuk diolah atau diperdagangkan dalam industry pertanian. Lingkaran setan semacam inilah yang harus dihindari dalam proses kerja agribisnis. Karena itu pertanian yang semula dianggap netral dan rasional akhirnya terjebak pada kepentingan kelompok tertentu yang mencari keuntungan sepihak
Dengan demikian ilmu pertanian yang netral dan seharusnya rasional kritis namun terjebak dalam hal-hal politis (economical politic) yang menetapkan kemana pertanian akan dijalankan sesuai dasar apa yang dipakai oleh sebuah Negara untuk menggerakkan ekonominya. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan keputusan yang diambil Negara untuk menetapkan langkah-lankah gerak ekonomi suatu Negara, termasuk di dalamnya bidang pertanian. Contoh paling jelas adalah keputusan perlu tidaknya impor atas komoditas yang sebenarnya bisa dihasilkan dalam negeri namun tidak diberdayakan. Tantangan bidang agribisnis dalam hal ini menjadi bertambah sulit kalau tidak ada upaya advokatif karena menimbang dari segi pragmatis semata. Oleh karena itu di luar negeri sebagai reaksi advokasi ini, berkembang model perdagangan termasuk dalam bidang pertanian yang sifatnya menuju keadilan kedua belah pihak seperti fair trade maupun basic community trade. Lantas bagaimana hubungan ilmu pertanian dengan agribisnis, mana yang mempengaruhi. Apakah ilmu pertanian mempengaruhi agribisnis atau justru sebaliknya? Jawabannya adalah tergantung posisi kita memilih pragmatis atau advokatif.
Advokasi Pertanian
Sebagai seorang intelektual yang memiliki tanggungjawab bagi perkembangan peradaban manusia khususnya peradaban tani, maka tentu advokasi pada pertanian haruslah menjadi pilihan utama. Dengan memilih advokatif berarti telah memilih mengembangkan basis-basis pertanian yang ada, disamping dapat untung namun sumber basis tani jangan sampai mati agar tidak terjadi kerugian. Lazim terjadi seseorang maupun dalam skala yang lebih besar (perusahaan) gencar dengan berjualan produk tani, namun tidak mau peduli dengan sumber-sumber bahan tani, ironinya lagi tidak peduli dengan pelaku tani. Seorang intelektual (mahasiswa agribisnis) harus mampu mencari akar penyakit dari ketimpangan ini yang nantinya akan sangat berguna bagi pelaku agribisnis itu sendiri dan juga subyek tani yakni para petani.
Keberhasilan seorang intelektual yang bergelut dalam bidang agribisnis dalam menemukan penyakit-penyakit ketimpangan ini akan membantu penguatan posisi dan peran agribisnis. Sebaliknya agribisnis hanya akan menjadi calo tani atau dalam literature kuno disebut dengan lintah darat jika malah bersembunyi di balik penyakit ketimpangan ini dan justru melakukan pembiaran yang berlarut. Disinilah dibutuhkan kepekaan sosial, baik itu dalam ilmu pertanian dan juga agribisnis.
ditulis oleh :
Warseno (Anggota Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Organik, Purwokerto dan Ketua Lembaga Advokasi kearifan Lokal)
Comments
Post a Comment